Penghimpunan Dan Pendayagunaan Zakat di Indonesia
Dari segi bahasa zakat berarti “bersih”, “suci”, “subur”, “berkat” dan “berkembang”,
Pengertian “bersih” dan “suci” dalam istilah zakat ialah membersihkan harta dan
membersihkan diri orang kaya daripada bersifat kedekut dan bakhil. Dalam erti
yang lain ialah membersihkan diri daripada sifat dengki dan dendam terhadap
orang kaya. Dari segi syara’ zakat dari segi syarak
pula ialah mengeluarkan sebahagian harta tertentu diberikan kepada asnaf-asnaf
yang berhak menerimanya setelah memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan oleh
syara’.
Zakat sebagai
rukun Islam merupakan kewajiban setiap muslim yang mampu membayarnya dan
diperuntukkan bagi mereka yang berhak menerimanya. Dengan
pengelolaan yang baik, zakat merupakan sumber dana potensial yang dapat
dimanfaatkan untuk memajukan kesejahteraan umum bagi seluruh masyarakat.
Zakat memiliki
dua fungsi penting dalam kehidupan umat. Pertama, zakat merupakan perintah
Tuhan sehingga mengerjakannya adalah sebuah ibadah (hablum minallah), yang
kedua juga mempunyai peranan meningkatkan kesejahteraan umat (hablum minannas).
Pada
kenyataannya penyaluran dengan sistem tersebut di atas, tidak bisa menjadi
sebuah problem solving dalam peningkatan kesejahteraan umat ataupun mampu mengentaskan
kemiskinan. Dengan salah satu pertimbangan tersebut, maka pemerintah membuat
inisiatif untuk menggagas pengelolaan zakat oleh negara, dengan tujuan untuk
meningkatkan peran negara dalam mengelola zakat dalam rangka efektifitas
penyaluran zakat sehingga peranan zakat memang benar-benar dapat dirasakan
manfaatnya.[1]
Maka
dikeluarkanlah Undang-Undang No. 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat dengan
harapan apabila zakat dikelola secara rapi dan profesional maka zakat memang
benar-benar bisa menjadi sumber dana umat yang potensial bagi upaya mewujudkan
kesejahteraan masyarakat.
Di dalam
sejarah Islam terdapat fakta-fakta sejarah yang menunjukkan bahwa pengelolaan
zakat oleh negara bukanlah hal yang baru, malahan negara mempunyai peranan
penting dalam mengelola zakat. Sejak zaman Nabi, al-Khulafa ar-Rasyidun bahkan
sampai dinasti Abbasiyah, negara mempunyai peranan dalam pengelolaan zakat. Di
dalam literatur fiqih badan pengelola tersebut lebih biasa dikenal dengan amil
zakat dan baitul mal.
A. Badan Amil dan Tugasnya
Amil
adalah seseorang yang bertugas untuk mengurus zakat. Menurut ulama madzhab
hanafi amil adalah orang yang telah ditetapkan oleh imam/ pemerintah untuk
memungut zakat.
Menurut
Madzhab Maliki Amil zakat merupakan para pengurus zakat seperti orang yang
menarik zakat, yang menulis, yang membagi-bagi zakat, dan orang yang menjaga
harta zakat, orang yang mengurusi zakat tersebut berhak menerima zakat meskipun
dia kaya, dan apabila dia fakir maka dia berhak mendapatkan zakat dengan dua
macam sifat. Adapun syarat syarat untuk menjadi amil zakat hendaknya ia
merdeka, beragama islam dan mengerti tentang hukum-hukum zakat, dan bukan dari
keturunan bani hasyim (keluarga rosulullah). Namun apabila imam atau penguasa
mengangkat budak atau keturunan bani hasyim sebagai amil zakat, maka
pengangkatan itu sah, namun mereka tidak berhak menerima zakat, dan ia diberi
upah dari baitul mal, bukan dari harta zakat.
Menurut
Madzhab Syafi’i yang dimaksud dengan Amil zakat atau pengurus zakat adalah
orang yang ada sangkut pautnya dengan pemasukan zakat, yaitu orang yang
memungut/ menarik zakat, orang yang menulis zakat, orang yang menjaga harta
zakat dan orang yang membagikannya. Amil zakat berhak menerima harta zakat
sekedar upah pekerjaannya.
Menurut
penjelasan Undang-undang No. 38 Tahun 1999 tentang pengelolaan zakat, yang
dimaksud dengan Amil zakat ialah pengeola zakat yang diorganisasikan dalam
suatu badan atau lembaga.
Menurut
Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 581 Tahun 1999 Tentang
pelaksanaan undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 Badan Amil Zakat adalah
organisasi pengelola zakat yang dibentuk oleh pemerintah terdiri dari unsur
masyarakat dan pemerintah dengan tugas mengumpulkan, mendistribusikan dan
mendayagunakan zakat sesuai dengan ketentuan agama islam.[2]
Adapun
tugas dari badan amil zakat meliputi penghimpunan zakat dari masyarakat, dan
mendistribusikan kembali kepada para mustahiq di lingkungan tersebut, serta
tugas-tugas turunan seperti pencatatan, pemeliharaan, dan melakukan investigasi
untuk menentukan orang-orang yang berhak menerima zakat serta orang-orang yang
harus membayar zakat. Amil zakat juga bertugas memberikan penyuluhan kepada masyarakat
tentang hukum zakat.
B. Penghimpunan Zakat
Pada perinsipnya penghimpunan zakat merupakan tugas dari amil zakat.
Seperti yang difirmankan allah dalam al-qur’an :
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا
وَصَلِّ عَلَيْهِمْ ۖ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ ۗ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
”Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa
kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi
Maha Mengetahui”. (QS. At Taubah: 103)
Kewajiban membayar zakat tidaklah semata-mata diserahkan kepada kesadaran
para muzakki, namun juga menjadi tangung jawab petugas penghimpun zakat/ amil.
Pada masa Rasulullah dan para sahabatnya, penghimpunan zakat dilakukan oleh
amil zakat dengan memungut/menagih dari para muzakki. Hal ini dilakukan
mengingat kedudukan zakat yang cukup signifikan dalam ajaran islam. Bahkan
islam menyerukan perang terhadap kaum yang enggan membatar zakat, seperti yang
terjadi pada masa awal pemerintahan khalifah abu bakkar.
Dalam UU No 38 Tahun 1999 Pasal 12, penghimpunan zakat dilakukan oleh amil
zakat dengan cara memerima zakat dari paramuzakki atau dengan memungutnya dari
muzakki atas dasar pemberitahuan muzakki.[3]
Menurut jamal doa pemungutan zakat atas dasar pemberitahuan muzakki seperti
yang disebutkan dalam UU diatas menunjukkan kelemahan dari undang-undang
tersebut, sebab didalam undang-undang tersebut tidak memiliki daya paksa untuk
mengambi zakat dari muzakki. Padahal jika dilihat dari sejarah islam, pada masa
pemerintahan khalifah abu bakkar, perang melawan orang-orang yang enggan
membayar zakat merupakan sebuah prioritas utama.
Pada sisi penghimpunan, banyak aspek yang harus dilakukan, seperti aspek
penyuluhan, edukasi, dan lainnya. Aspek ini menduduki fungsi kunci untuk
keberhasilan penghimpunan dana ZIS. Karena itu, setiap sarana harus
dimanfaatkan secara optimal.
Salah satu sarana yang bisa dimanfaatkan adalah seperti medium khutbah
jumat, majelis taklim, surat kabar, majalah, brosur-brosur yang sifatnya
praktis yang berisikan tentang harta yang harus dizakati dan cara
perhitungannya, akan sangat membantu usaha sosialisasi ZIS ini.
C. Pendistribusian dan Pendayagunaan Zakat
Sesuai dengan ketentuan islam, zakat yang berhasil dikumpulkan oleh amil
zakat, akan di distribusikan kembali kepada para mustahiq yang berjumlah
delapan ashnaf. Adapun pendistribusian dan pendayagunaan zakat merupakan
tanggung jawab yang di bebankan kepada amil zakat.
Pada sisi pendistribusian dan pendayagunaan Zakat, perlu diperhatikan
kembali beberapa hal antara lain aspek pengumpulan dan pengolahan data mustahik
(orang-orang yang berhak) perlu diperhatikan terlebih dahulu untuk menetapkan
mustahik yang akan mendapatkannya dan penetapan skala prioritasnya.
Pendayagunaan zakat dapat dilakukan dengan metode konsumtif dan dapat pula
dengan metode produktif, seperti yang disebutkan dalam Pasal 16 UU No. 38 th
1999. Pemanfaatan zakat dengan jalan konsumtif ini dilakukan dengan memberikan
harta zakat untuk kepentingan sehari hari. Menurut yusuf qardawi penyaluran
semacam ini hendaknya dilakukan apabila mustahiq zakat merupakan orang yang
sudah tidak mampu bekerja lagi (karena jompo, cacat, sakit, dll).
Namun bagi mustahiq yang masih mampu bekerja, penyaluran zakatnya hendaknya
berupa zakat produktif, yaitu dengan memberikan modal usaha atau peralatan
kerja sehingga mereka dapat keluar dari jeratan kemiskinan. seperti yang
menjadi tujuan utama zakat, yaitu agar kaum yang pada mulanya menjadi mustahiq
zakat, pada tahun berikutnya dapat menjadi muzakki.[4]
Yang perlu diperhatikan adalah bahwa keberhasilan amil zakat bukan
ditentukan oleh besarnya zakat yang berhasil dihimpun atau didayagunakan,
melainkan juga pada sejauh mana para mustahik (yang mendapatkan ZIS produktif)
dapat meningkatkan kegiatan usaha ataupun pekerjaannya.
Pada
perinsipnya arah kebijakan pendayagunaan zakat yang dilakukan oleh badan amil
zakat mengacu pada pendaya gunaan zakat secara produktif, yaitu dengan
memberikan bantuan modal usaha dan jga bantuan biaya pendidikan, sebagai
investasi jangka panjang dalam rangka peningkatan mutu sumber daya manusia.
Aspek monitoring dan pembinaan kepada para mustahik juga perlu mendapatkan
perhatian yang sungguh-sungguh dari amil zakat. Amil zakat jiga harus
memberikan laporan yang transparan sehingga dapat diketahui oleh para muzakki
maupun masyarakat secara keseluruhan mengenai pemanfaatan dan pendayagunaan
dana zakat tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar