Jumat, 09 Desember 2016

Diskriminasi Gender "Tugas Sosiologi Hukum"




Apa perempuan layak mendapat diskriminasi? Apa sudah takdir bahwa perempuan hidup dalam belenggu DISKRIMINASI? Katakan tidak, Jangan mau menjadi wanita yang hanya dipandang sebelah mata saatnya kita sebagai wanita harus berontak terhadap berbagai diskriminasi yang dilakukan oleh orang-orang yang tak bertanggung jawab terutama kaum laki-laki. Wanita dianggap sebagai kaum yang lemah secara fisik selalu dijadikan alasan untuk menyempitkan ruang gerak perempuan di ranah publik.
Banyak sekali kasus yang terjadi di masyarakat seperti maraknya  kekerasan seksual yang terjadi baru-baru ini, apa perempuan dipandang hanya sebagai objek pelampiasan nafsu semata? sering kali terjadi Ketimpangan Gender, perbedaan peran dan hak perempuan dan laki-laki di masyarakat yang menempatkan perempuan dalam status lebih rendah dari laki-laki. “Hak istimewa” yang dimiliki laki-laki ini seolah-olah menjadikan perempuan sebagai “barang” milik laki-laki yang berhak untuk diperlakukan semena-mena.
Sering kesetaraan gender yang dengan gencar disosialisasikan, diterima dengan telinga sebelah saja (khususnya laki-laki) karena diasumsikan bahwa kesetaraan gender di identikkan dengan emansipasi perempuan dan kemudian dibenturkan dengan agama. Lagi-lagi perempuan menjadi terpojok, tak berkutik dan harus mengikuti stereotip “Swargo Nunut, Neroko Kathut” ( ke surga ikut, keneraka pun juga ikut) terhadap laki-laki, karena laki-laki adalah ‘imam’. Maka dari itu munculah pandangan Feminist Legal Theory adalah teori hukum yang lahir dari pemikiran kaum feminis, yaitu suatu gerakan atau orang-orang, utamanya perempuan, yang memiliki keyakinan dan/atau pandangan bahwa perempuan mengalami ketidakadilan karena jenis kelaminnya dan karenanya berupaya untuk menghapuskannya dengan meningkatkan otonomi perempuan dan advokasi hak-hak perempuan.
Selama ini kita beranggapan bahwa wanita itu adalah kaum yang lemah dan tak berdaya namun sadarkah anda bahwa konstruksi pemikiran yang seperti itulah yang membahayakan kebaradaan wanita. dalam ruang lingkup kecil seperti rumah tangga saja mayoritas seorang wanita hanya memiliki kewajiban untuk mengasuh anak-anaknya dan seringkali tidak diizinkan untuk membantu mencari nafkah. Mengapa demikian? Karena perempuan tidak dianggap mampu dan senantiasa dianggap rendah derajatnya dibandingkan lelaki. Padahal belum tentu wanita yang bekerja tidak bisa mengasuh anak-anaknya dengan baik .
Karena pola pikir yang menyatakan bahwa wanita itu tidak mampu atau bukan kodratnya untuk mencari nafkah inilah banyak kasus-kasus kekerasan yang terjadi pada wanita. Mereka kerap kali dijadikan pelampiasan amarah suaminya seperti saat ada masalah dilingkungan kerja, saat sang suami baru saja dimarahi oleh bos atau dengan alasan sepele seperti suami yang kecapekaan dan sensitif kemudian tanpa alasan yang jelas memarahi istrinya. kemudian terjadilah kekerasan yang disebut dengan kekerasan yang terjadi akibat diskriminasi gender. . Laki laki seringkali menjadikan kekerasan sebagai kontrol dan untuk mempertahankan kekuasaannya, Fakta yang juga miris adalah bahwa mereka mendapatkan kekerasan dari orang-orang yang seharusnya melindungi mereka seperti pasangan atau bahkan ayah mereka sendiri. Dan malah lebih susah bagi mereka untuk meminta pertolongan jika pelaku dari kekerasan tersebut adalah orang terdekat, oleh karena itu terkadang permasalahan tersebut hanya sekedar dilupakan. Dirumah sendiri bahkan keslamatan wanita juga terancam, kemanakah seharusnya wanita mendapat perlindungan? Semua orang berkoar-koar hapuskan diskriminasi gender pada kenyataannya hal itu sangat sulit.
Tidak banyak perempuan yang melapor apabila terjadi kekerasan dalam rumah tangga, mereka hanya diam dan membiarkan perilaku kekerasan tersebut terjadi berulang-ulang karena ketidak  tahuanya bahwa ada pasal yang mengatur  Seperti : Pasal 5 No.23 Tahun 2004 larangan kekerasan dalam rumah tangga. Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara : a. kekerasan fisik; b. kekerasan psikis; c. kekerasan seksual; atau d. penelantaran rumah tangga.
Maka perlu ada pendidikan adil gender di tingkat keluarga untuk membangun relasi gender yang lebih harmonis mulai dari tingkat keluarga sampai dengan tingkat nasional agar masyarakat adil dan makmur dapat tercapai dengan lebih cepat dan lebih baik. Melalui manajemen sumberdaya keluarga (yang terdiri atas sumberdaya materi, sumberdaya manusia, dan sumberdaya waktu) yang berwawasan gender, maka diharapkan masalah kemiskinan yang mendominasi masyarakat pesisir akan teratasi dengan lebih baik. Hal penting lain yang diharapkan berubah adalah adanya perubahan gradual terhadap belenggu budaya yang merugikan perempuan dalam menuntut pendidikan formal di sekolah. Untuk itu, pengasuhan yang berwawasan gender adalah solusi yang tepat untuk meningkatkan angka partisipasi sekolah baik bagi laki-laki maupun perempuan.Walaupun wanita kodratnya adalah mengurus anak dan dirumah sebagai ibu rumah tangga tetapi mereka perlu kebebasan untuk mereka mempunyai hak untuk berkarir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar