Apa
perempuan layak mendapat diskriminasi? Apa sudah takdir bahwa perempuan hidup
dalam belenggu DISKRIMINASI?
Katakan tidak, Jangan mau menjadi wanita yang hanya dipandang sebelah mata
saatnya kita sebagai wanita harus berontak terhadap berbagai diskriminasi yang
dilakukan oleh orang-orang yang tak bertanggung jawab terutama kaum laki-laki. Wanita dianggap sebagai kaum yang lemah
secara fisik selalu dijadikan alasan untuk menyempitkan ruang gerak perempuan
di ranah publik.
Banyak
sekali kasus yang terjadi di masyarakat seperti maraknya kekerasan seksual yang terjadi baru-baru ini,
apa perempuan dipandang hanya sebagai objek pelampiasan nafsu semata? sering kali terjadi Ketimpangan Gender, perbedaan peran dan hak perempuan dan
laki-laki di masyarakat yang menempatkan perempuan dalam status lebih rendah
dari laki-laki. “Hak istimewa” yang dimiliki laki-laki ini seolah-olah
menjadikan perempuan sebagai “barang” milik laki-laki yang berhak untuk
diperlakukan semena-mena.
Sering kesetaraan gender yang dengan
gencar disosialisasikan, diterima dengan telinga sebelah saja (khususnya
laki-laki) karena diasumsikan bahwa kesetaraan gender di identikkan dengan
emansipasi perempuan dan kemudian dibenturkan dengan agama. Lagi-lagi
perempuan menjadi terpojok, tak berkutik dan harus mengikuti stereotip “Swargo
Nunut, Neroko Kathut” ( ke surga ikut, keneraka pun juga ikut) terhadap
laki-laki, karena laki-laki adalah ‘imam’. Maka dari itu munculah pandangan
Feminist Legal Theory adalah teori hukum yang lahir dari pemikiran kaum
feminis, yaitu suatu gerakan atau orang-orang, utamanya perempuan, yang
memiliki keyakinan dan/atau pandangan bahwa perempuan mengalami ketidakadilan
karena jenis kelaminnya dan karenanya berupaya untuk menghapuskannya dengan
meningkatkan otonomi perempuan dan advokasi hak-hak perempuan.
Selama ini kita
beranggapan bahwa wanita itu adalah kaum yang lemah dan tak berdaya namun
sadarkah anda bahwa konstruksi pemikiran yang seperti itulah yang membahayakan
kebaradaan wanita. dalam ruang lingkup kecil seperti rumah tangga saja
mayoritas seorang wanita hanya memiliki kewajiban untuk mengasuh anak-anaknya
dan seringkali tidak diizinkan untuk membantu mencari nafkah. Mengapa demikian? Karena perempuan
tidak dianggap mampu dan senantiasa dianggap rendah derajatnya dibandingkan
lelaki. Padahal belum tentu wanita yang bekerja tidak bisa mengasuh
anak-anaknya dengan baik .
Karena pola
pikir yang menyatakan bahwa wanita itu tidak mampu atau bukan kodratnya untuk
mencari nafkah inilah banyak kasus-kasus kekerasan yang terjadi pada wanita.
Mereka kerap kali dijadikan pelampiasan amarah suaminya seperti saat ada
masalah dilingkungan kerja, saat sang suami baru saja dimarahi oleh bos atau
dengan alasan sepele seperti suami yang kecapekaan dan sensitif kemudian tanpa
alasan yang jelas memarahi istrinya. kemudian terjadilah kekerasan yang disebut
dengan kekerasan yang terjadi akibat diskriminasi gender. . Laki laki
seringkali menjadikan kekerasan sebagai kontrol dan untuk mempertahankan
kekuasaannya, Fakta yang juga miris adalah bahwa mereka mendapatkan kekerasan
dari orang-orang yang seharusnya melindungi mereka seperti pasangan atau bahkan
ayah mereka sendiri. Dan malah lebih susah bagi mereka untuk meminta
pertolongan jika pelaku dari kekerasan tersebut adalah orang terdekat, oleh
karena itu terkadang permasalahan tersebut hanya sekedar dilupakan. Dirumah
sendiri bahkan keslamatan wanita juga terancam, kemanakah seharusnya wanita
mendapat perlindungan? Semua orang berkoar-koar hapuskan diskriminasi gender
pada kenyataannya hal itu sangat sulit.
Tidak banyak perempuan yang melapor
apabila terjadi kekerasan dalam rumah tangga, mereka hanya diam dan membiarkan
perilaku kekerasan tersebut terjadi berulang-ulang karena ketidak tahuanya bahwa ada pasal yang mengatur Seperti : Pasal 5 No.23 Tahun 2004 larangan
kekerasan dalam rumah tangga. Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam
rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara : a.
kekerasan fisik; b. kekerasan psikis; c. kekerasan seksual; atau d.
penelantaran rumah tangga.
Maka
perlu ada pendidikan adil gender di tingkat keluarga untuk membangun relasi
gender yang lebih harmonis mulai dari tingkat keluarga sampai dengan tingkat
nasional agar masyarakat adil dan makmur dapat tercapai dengan lebih cepat dan
lebih baik. Melalui manajemen sumberdaya keluarga (yang terdiri atas sumberdaya
materi, sumberdaya manusia, dan sumberdaya waktu) yang berwawasan gender, maka
diharapkan masalah kemiskinan yang mendominasi masyarakat pesisir akan teratasi
dengan lebih baik. Hal penting lain yang diharapkan berubah adalah adanya
perubahan gradual terhadap belenggu budaya yang merugikan perempuan dalam
menuntut pendidikan formal di sekolah. Untuk itu, pengasuhan yang berwawasan
gender adalah solusi yang tepat untuk meningkatkan angka partisipasi sekolah
baik bagi laki-laki maupun perempuan.Walaupun wanita kodratnya adalah mengurus
anak dan dirumah sebagai ibu rumah tangga tetapi mereka perlu kebebasan untuk
mereka mempunyai hak untuk berkarir.